Panen Padi diladang Berpindah
Berladang bagi masyarakat Dayak Kalimantan hanya sekadar untuk mencukupi keperluan pangan dan tidak sebagai usaha komersial. Mereka mencukupi kebutuhan lainnya dengan mengambil apa saja yang bernilai ekonomis yang ada di hutan. Peladang berpindah selalu membuka hutan baru berdasarkan perkiraan musim atau iklim. Pembukaan lahan baru oleh penduduk pribumi yang menidami pulau kalimantan, terutama dengan sistim ladang berpindah / Shifting Cultivation sering dijadikan tameng kerusakan Alam. Pedahal mereka mengelola hutan sangat arif dan bijaksana, bahkan tidak boleh merusak hutan sebarangan, sementara untuk membuat ladang harus selalu mengikuti adat yang sudah turun temurun diwariskan leluhur.
Dapat dipastikan penduduk pribumi terutama masyarakat Dayak tidak akan merusak kehidupan mereka sendiri dengan kata lain mana ada orang yang membakar lumbung padi yang menjadi sumber penghidupan-nya sendiri. Bekas ladang berpindah di tepian hutan yang ditumbuhi rumput dan tanaman muda merupakan lahan santapan yang sangat diperlukan marga satwa penghuni rimba raya sehingga menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang sangat harmonis. Terlihat adanya ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan. Flora menghidupkan fauna dan fauna menebarluaskan flora.
Ladang berpindah sebenarnya tidak merusak lingkungan yang berarti walaupun ada tetapi tidak sebagai penyebab utama kerusakan hutan, karena sewaktu membakar lahan selalu dijaga dan secara emosional mereka memiliki kearifan ekologis terhadap lingkungan sebagai tempat mencari penghidupan. Bagi masyarakat adat khususnya suku dayak, Sebuah lahan yang sama boleh di buat ladangi kembali dalam siklus waktu 15 tahun. Jadi, dapat dipastikan pernyataan beberapa orang yang mengatakan kerusakan dan pembakaran hutan terparah yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan dilakukan oleh penduduk pribumi asli itu tidaklah benar .
Sepengetahuan IMPAS-B hingga penghujung tahun 80-an tidak ada dampak negatif dari aktivitas ladang berpindah karena sewaktu pembakaran lahan masyarakat selalu siap menjaga di tepi ladang untuk memastikan api tidak melahap hutan (dalam arti jangan sampai hutan ikut terbakar). Beberapa pihak banyak menyalahkan penduduk pribumi atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan kerena sistem pertanian yang tidak tepat tapi dalam kenyataan dilapangan malah kerusakan hutan dilakukan oleh tangan-tangan pengusaha perkebunan yang sudah menguasai lebih dari separuh pulau kalimantan.
No comments:
Post a Comment