Beberapa puluh tahun yang lalu mahar penikahan adat suku Dayak Iban sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. Tidak heran jika zaman dahulu ada beberapa orang pernah mendengar sebuah kata yang sedikit horor terdengar ditelinga seperti “Kepala Anda sebagai mahar pernikahan saya.!”. Tapi, kebudayaan tersebut sudah lama dihilangkan dari masyarakat Dayak yang tinggal di kalimantan sejak Perjanjian Tumbang Anoi terealisasikan, pertemuan yang direncanakan tersebut berlangsung selama 3 bulan tepatnya mulai pada tanggal pada 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894. Perjanjian Tumbang Anoi sendiri dimulai dengan pertemuan pendahulu yang disebut dengan Pertemuan Kuala Kapuas, pada tanggal 14 Juni 1893.
Prosesi pencarian korban untuk dijadikan mahar dalam acara peminangan seorang wanita Dayak ini sendiri disebut sebagai Ngayau. Ngayau sendiri masih menjadi sebuah misteri besar dimana ada beberapa orang mengatakan ngayau tidak hanya mencari korban untuk dijadikan mahar tapi menunjukan keberanian, melindungi warga suku, memperluas wilayah, dan merupakan salah satu cara bertahan hidup. Mengayau sendiri dilakukan oleh kaum laki-laki mengunakan mandau (Senjata Khas Suku Dayak).
Dalam tradisi ini, seorang pria Dayak Iban diwajibkan untuk membawa penggalan kepala manusia yang berasal dari daerah lain (desa lain) ke hadapan sang wanita yang akan ia pinang. Jika pinangan ini disambut baik oleh sang wanita, maka sang wanita akan menyimpan penggalan kepala tersebut dan kemudian menyerahkan sepotong kain hasil rajutannya sendiri kepada sang pria. Hingga saat ini, beberapa tengkorak kepala hasil perburuan tradisi Ngayau tersebut masih dapat dijumpai di beberapa daerah di Kalimantan, salah satunya di Dusun Landau Kodah, Desa Seberang Kapuas, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Saat ini, tradisi tersebut telah digantikan dimana dengan memberikan hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing atau babi, dan sebagainya oleh calon pengantin pria kepada calon pengantin wanitanya.
Menurut informasi dari detik.com jika pengunjung ingin melihat langsung dimana tempat penyimpanan tengkorak-tengkorak tersebut harus minta izin terlebih dahulu kepada sang kepala desa dan pengurus Adat. Dulunya, selain tengkorak-tengkorak hasil tradisi Ngayau, di rumah tempat penyimpanannya juga terdapat kulit padi purba yang berukuran raksasa. Sayangnya, menurut penduduk sekitar, kulit padi purba ini hilang dicuri oleh sekelompok orang yang tidak dikenal beberapa waktu silam.
No comments:
Post a Comment