Dayak Bakati’ Kuma adalah subsuku Dayak yang tinggal di wilayah adat atau Binua/Banoe Kuma. Binua Kuma ini juga disebut Binua Sengayan. Mereka menuturkan bahasa Bakati’. Secara kebahasaan bahasa ini tergolong dalam rumpun bahasa Bidayuhik (Wurm dan Hatorri, 1983). Memang pada saat ini tidak mudah lagi menentukan wilayah adat yang menjadi tempat penyebaran sub-subsuku Dayak Bakati’ di kawasan ini. Hal ini dikarenakan sering terjadi perubahan-perubahan tempat dan batasnya. Namun demikian, keberadaan wilayah adat dalam menentukan keberadaan dan identitas masyarakat Dayak di kawasan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Di samping itu, keberadaan wilayah adat juga masih dapat dilacak lewat penuturan para informan yang cukup berpengalaman seiring dengan usia mereka yang cukup tua. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Sengayan ini adalah Kampung Rakum, Banan Lae’, Lalang, Sejadis, Sabaho’, Jelatang, Pedek Batu Ajong, Baya, Belatik, Bare Mada, Bare Momol, Bare Lamat, Sangat Molo, Kayu Anak, Marong, dan Sentalang. Jumlah mereka 6.346 jiwa.
Dewasa ini, sepertinya wilayah adat Ledo bercampur baur dengan wilayah adat Sengayan. Hal ini memang agak menyulitkan bagi penentuan wilayah adat karena sering mengakibatkan benturan terutama versi wilayah adat lama dengan versi baru. Istilah Kuma ini berasal dari nama sebuah sungai yang mengalir dari wilayah Seluas yang masuk ke Sungai Sambas. Nama sungai ini di bagian hulunya adalah Sungai Kimbey yang berada di Sebujit, Tadan, dan sekitarnya. Sungai Kimbey lebih dikenal dengan nama Sungai Kumba atau Sekumba di wilayah Seluas. Di wilayah paling hilir Sungai Kimebye dikenal dengan nama Sungai Kuma.
Nama Kuma inilah yang kemudian dipakai sebagai nama wilayah dan subsuku Bakati’ dalam wilayah adat Sengayan di Kecamatan Ledo. Asal-usul penduduk di wilayah ini dulunya dari satu kampung, yaitu Kampung Tempadu. Dari Kampung Tempadu inilah mereka kemudian berpencar ke kampung-kampung di sekitarnya, seperti di Kampung Baya, Bare, Blare’, Jelatang, dan Lalang. Pada masa itu, daerah Salimo (Sentalang sekarang) dibeli oleh Dayon Maliken dengan babi berbulu emas. Tidak disebutkan dari siapa Maliken Dayon membeli daerah ini. Pada waktu itu juga dibuat sumpah rabu’ rakat sampai tujuh turunan dengan harapan agar saling menjaga perdamaian dan tidak boleh menganggu satu sama lain. Di wilayah Kuma bagian saba’ (hilir) ini juga terdapat sapa’, yaitu sebuah jembatan yang dibuat oleh Bawatn ‘roh halus’.
Sistem kepercayaan masyarakat Dayak Bakati’ kuma sama dengan dayak bekati lainnya dimana pada dasarnya bertitik tolak pada 2 prinsip, yakni percaya dengan adanya Tuhan yang satu dan percaya juga kepada roh-roh leluhur atau roh nenek moyang yang telah meninggal. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Dayak Bakati’ memiliki kepercayaan bahwa setelah meninggal dunia, maka roh-roh orang tersebut jasadnya akan terus hidup. Bahkan, ada juga anggapan bahwa roh nenek moyang yang telah sampai di surga (saruga) dapat kembali ke dunia ini menjadi pelindung keluarga atau masyarakat. Kepada roh inilah terkadang masyarakat memohon perlindungan dan menyampaikan permohonan.
masyarakat Dayak Bakati’ juga percaya adanya dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia di mana manusia yang hidup tidak bisa melihatnya. Dunia ini hanya ada dalam konsep dan dipercayai masyarakat. Mereka percaya bahwa setelah meninggal roh manusia kelak akan menuju ke sana dan mereka yang telah meninggal juga tidak semua rohnya dapat menuju ke sana, melainkan sesuai dengan perbuatan dan tindakannya selama ia masih hidup. Sementara orang yang meninggal namun rohnya tidak dapat masuk ke dunia atas, menurut kepercayaan mereka tetap berada di dunia bawah dan roh-roh inilah yang selalu mengganggu kehidupan manusia.
Sumber:
[1]Dayakologi.org
[2]institutdayakologi.wordpress.com
No comments:
Post a Comment