Ketidakadilan Ekonomi Masyarakat Perbatasan Kalimantan

Ketidakadilan Ekonomi Masyarakat Perbatasan dirasakan Oleh masyarakat di Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Indonesia). Poteret Ketidakadilan dirasakan kalangan masyarakat suku Dayak Kantuk dan suku Dayak Iban di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Manakala Lebih dari 60 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari Malaysia.

Satu-satunya jaminan yang didapat masyarakat adalah diterima menjadi buruh harian oleh perusahaan, dengan gaji Rp 50.000-62.500 per hari. Perusahaan kelapa sawit tersebut selama satu siklus tanam akan menikmati keuntungan menggiurkan, dengan tingkat penghasilan di atas Rp 4 juta per hektare setiap bulan. kekuatan ekonomi yang berbasis hukum pasar mulai menimbulkan konflik, seiring dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat dalam menuntut hak hidupnya. Berkembannya perkebunan kelapa sawit di Kalbar menunjukkan potret betapa dahsyatnya pembangunan ekonomi yang berorientasi hukum pasar di Indonesia.

Simpak Beliung Ketidakadilan Ekonomi Masyarakat Perbatasan KalimantanIlustrasi Pembukaan Lahan kelapa Sawit // Photo by N/A

Di dalam teori hukum pasar, kekuatan uang selalu akan keluar sebagai pemenang di dalam perebutan sumber daya alam. Perebutan sumber daya alam tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Selain menimbulkan ketidakadilan ekonomi, program pembangunan yang semata-mata mengedepankan hukum pasar pada kenyataannya telah mengusik rasa nasionalisme segenap lapisan masyarakat di Provinsi Kalbar. Kepala Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Kalbar Sri Jumiatin mengakui lebih dari 60 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari Federasi Malaysia.

BPMD Provinsi Kalbar mencatat per April 2013, produksi kelapa sawit di sana, yang terdiri dari produksi perkebunan rakyat, mencapai 401,894 ton, produksi perkebunan negara mencapai 132,099 ton, dan produksi perkebunan swasta mencapai 347,775 ton. Luas area untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar terdiri dari perkebunan rakyat seluas 189.255 hektare, perkebunan negara 42.072 hektare, dan perkebunan swasta 299.248 hektare. Indonesia dicatat sebagai produksi minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan total produksi 19,844 juta ton pada 2012, dengan luas lahan keseluruhan 17,824 juta hektare. Secara nasional, investor dari Federasi Malaysia masih tercatat mendominasi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Ketidak adilan Ekonomi pasar dikenal dengan istilah “simpak beliung”.

Simpak beliung adalah uang tali alih yang diberikan kepada masyarakat lokal pemilik lahan secara tradisional oleh salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia, setiap kali membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Terjemahan harafiah dari kata simpak adalah sompel. Beliung adalah sejenis kapak, alat tebang tradisional yang digunakan untuk menebang pohon di hutan. Bagi warga yang mau meminjamkan lahannya secara tertulis dan mengikat selama satu siklus tanam, 25-30 tahun, maka diberikan uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.

Uang simpak beliung yang sebesar Rp 250.000 per hektare merupakan potret ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang bermukim di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Hal tersebut karena setelah menyerahkan tanah, masyarakat pemilik lahan tradisional sudah tidak memiliki hak lagi selama satu siklus tanam.
Apabila masyarakat ingin menjadi petani peserta maka diberlakukan pola 80:20. Artinya, masyarakat secara sukarela meminjam pakai lahan secara tradisional seluas 80 persen dari tanah yang dimiliki, untuk selanjutnya dibayar uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.

Sisa lahan bagi masyarakat penyerah lahan sebesar 20 persen dijanjikan akan dibangun kebun plasma. Kendati sudah menyerahkan lahan untuk dipinjam pakai selama satu siklus tanam, masyarakat penyerah lahan harus pula menanggung beban kredit berkisar antara Rp 70-140 juta per hektare selama satu siklus tanam. Rinciannya, per hektare lahan ditanam 128 pohon, di mana produksi per pohon 30 kilogram tiap kali panen, dengan harga satuan Tandan Buah Segar (TBS) Rp 1.300 (per Juni 2013), maka uang yang diraup oleh perusahaan kelapa sawit mencapai Rp 4,992 juta tiap kali panen.

Apabila panen diberlakukan tiga kali per bulan, uang yang diraup perusahaan kelapa sawit dari “menipu” petani pemilik lahan tradisional di Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, sebesar Rp 11,976 juta per hektare per bulan, menjadi Rp 143,712 juta per hektare per tahun dan melonjak Rp 2,874 miliar per hektare dalam rentang waktu 20 tahun masa tanaman produktif. Sementara itu investasi per hektare kebun kepala sawit tidak lebih dari Rp 80 juta. Kepala Desa Nanga Kantuk, Kecamatan Ampanang, Sudirman, mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala besar di wilayahnya. Kekuatan uang pemilik modal telah membuat masyarakat terlena.

Sumber : AJU, Sinar Harapan

No comments:

Post a Comment